Pengamat Singgung Isu Polusi Udara Jakarta yang Mulai Dijadikan Komoditas Politik

Dalam Persaingan Politik, Polusi Udara Jakarta Jadi Bahan Perdebatan

Menjelang Pemilu 2024, politisi Indonesia terlihat semakin gencar memanfaatkan isu-isu publik untuk memperkuat citra mereka di mata pemilih. Salah satu isu yang kini menjadi pusat perhatian politisi adalah masalah polusi udara di DKI Jakarta.

Emrus Sihombing, seorang pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, mengamati tren ini dengan skeptis. “Saat ini, sedang marak politisi yang ikut-ikutan membahas polusi udara,” ujarnya pada Kamis (24/8/2023).

Sayangnya, politisi-politisi ini tampaknya kesulitan untuk menggagas ide-ide inovatif yang bisa meningkatkan elektabilitas mereka di mata masyarakat. Sebagai gantinya, mereka lebih memilih untuk berbicara tentang isu-isu publik yang tengah populer guna menarik perhatian.

Figur politik ternama seperti Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Annisa Pohan (istri dari Agus Harimurti Yudhoyono), dan bahkan Bahlil Lahadalia, semuanya ikut memberikan komentar mengenai polusi udara di ibu kota.

“Jadi mereka memilih isu-isu publik yang saat ini tengah hangat diperbincangkan di media massa dan media sosial,” tambah Emrus.

Namun, Emrus menegaskan bahwa kualitas udara di Provinsi Banten justru lebih baik jika dibandingkan dengan DKI Jakarta, meskipun Provinsi Banten lebih dekat dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang sering dianggap sebagai salah satu penyumbang polusi utama.

Menurutnya, banyak ahli lingkungan telah mengungkapkan bahwa masalah polusi udara di Jakarta sebagian besar disebabkan oleh masalah transportasi, terutama emisi gas buang dari kendaraan bermesin bakar minyak.

“Sejumlah ahli lingkungan telah dengan jelas menyatakan bahwa PLTU bukanlah penyebab utama masalah ini. Tapi masalahnya adalah apa, dan di mana solusinya?” tanya Emrus.

Oleh karena itu, menurutnya, isu polusi udara yang saat ini dijadikan komoditas politik oleh politisi seharusnya lebih berfokus pada penyediaan solusi jangka panjang daripada sekadar perdebatan retorika.

“Para pemimpin kita seharusnya lebih berorientasi pada solusi jangka panjang, karena merekalah yang akan memimpin,” pungkasnya dengan tegas.